Oleh Aryo Wisanggeni dan Indira Permanasari
KOMPAS.com
- Di kaki Gunung Sindoro, terik matahari terasa menyengat. Peluh
membasahi tubuh Yanto (32), petambang dan petani di Dusun Liyangan, Desa
Purbosari, Temanggung, Jawa Tengah. Namun, ia tak surut mendongkel batu
besar yang tertanam lekat di dinding terjal dengan linggisnya.
"Kami
ingin melandaikan dinding terjal ini. Setelah itu, kami uruk dengan
tanah permukaan lagi agar subur dan bisa ditanami," ujar Yanto sambil
terus menancapkan linggis.
Selama bertahun-tahun, Yanto dan warga
Liyangan lain menambang batu di lereng gunung yang terpencil itu.
Mereka tak mengira, di balik pasir dan batu itu tersimpan jejak
peradaban dari masa lalu.
Hingga tahun 2008, penggali pasir itu
menemukan batu yoni, arca Ganesha, lumpang, batu pipisan, dan batu bulat
panjang yang biasa digunakan untuk menghaluskan jamu. Pecahan mangkuk
keramik juga ditemukan.
Sebagian benda peninggalan peradaban kuno
itu disimpan di rumah Kepala Dusun Liyangan Riyatno Wardoyo (43),
termasuk pecahan mangkuk keramik itu. Di kamar belakang Riyatno
tergeletak alat cetak logam yang terbuat dari tanah liat, juga guci
kecil yang hiasannya masih sangat kasar.
Riyatno beberapa kali
mencoba menggabungkan pecahan keramik itu, tetapi selalu gagal. Hingga
siang itu, 23 Desember 2011, Niken Wirasanti, arkeolog dari Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, berseru gembira saat berhasil menggabungkan
pecahan keramik itu menjadi satu mangkuk yang utuh. "Keramik dari China
ini bisa menjadi petunjuk sudah ada hubungan dengan dunia luar sejak
sekitar abad ke-8 Masehi," ujar Niken.
Sementara dari temuan guci
kuno yang somplak pada bagian mulutnya itu, Niken meyakini masyarakat
saat itu telah membuat gerabah sendiri. Guci itu dibuat oleh masyarakat
Liyangan. Teknik pembuatannya masih kasar.
Di rumah Riyatno juga
terdapat beberapa patung setengah jadi. Pembuatan patung tidak
diteruskan karena ada kesalahan saat memahat sehingga bagian yang
seharusnya menjadi tangan atau kepala patah. Satu patung tanpa kepala
diduga akan dibuat menjadi Ganesha dengan melihat postur patung yang
berperut buncit, posisi duduk, dan bagian belalai yang patah. Ada juga
patung yang kepalanya patah separuh yang diduga akan dibuat menjadi
patung Durga.
Niken menilai, pola hias yang sangat sederhana dan
teknik pembuatan patung yang kasar menunjukkan peradaban Liyangan masih
sangat awal. Pola hias yang sederhana pada batu-batu candi di Liyangan
lebih mirip dengan candi di Dieng yang dibangun sekitar abad ke-7, lebih
tua dibandingkan dengan candi-candi di lereng selatan Gunung Merapi
yang pahatan hiasannya rumit dan halus.
Agraris
Jejak
kehidupan agraris di Liyangan terekam dalam bulir padi yang terbakar
awan panas dan ditemukan Balai Arkeologi Yogyakarta saat melakukan
ekskavasi. Bulir-bulir padi yang menjadi arang itu terkubur material
letusan Gunung Sindoro setebal 6-8 meter.
Awan panas menghapus
Liyangan kuno dari rekaman waktu selama 1.037 tahun hingga ditemukan
kembali pada 2008. Para petambang pasir membongkar "kuburan" itu dan
kampung pada zaman Mataram Kuno pun tersingkap.
Arkeolog dari
Balai Arkeologi Yogyakarta, Sugeng Riyanto, mengatakan, sejak masyarakat
melaporkan temuan itu, Balai Arkeologi Yogyakarta mulai meneliti
kawasan itu pada tahun 2000 dan dilanjutkan pada 2009 dan 2010.
"Tahun
2000, kami menemukan batu yang konstruksinya mirip talut dan beberapa
komponen batu candi ataupun arca di ketinggian 1.100-1.200 meter di atas
permukaan laut," ujar Sugeng.
Penggalian itu mengungkap sebuah
permukiman Mataram Kuno. Selain candi, juga ditemukan bekas dinding
bangunan dari bambu dan tiang rumah yang telah menjadi arang. Dengan
meneliti umur bambu yang telah berubah menjadi arang, Balai Arkeologi
Yogyakarta berkesimpulan, pemusnahan peradaban akibat letusan Gunung
Sindoro yang sangat dahsyat itu terjadi sekitar tahun 971 Masehi.
Ingatan terputus
Liyangan
bukan satu-satunya jejak peradaban Mataram yang terkubur letusan gunung
api dan kemudian ditemukan secara tak sengaja. Dampak letusan gunung
api terekam sepanjang penelusuran di lereng selatan Gunung Merapi.
Puluhan candi yang dibangun di lereng Merapi sekitar abad ke-9 terkubur
oleh awan panas dan banjir lahar.
Hidup dikepung gunung api
membuat kehidupan dan peradaban di Bumi Mataram pada masa lalu
dipengaruhi letusan-letusan gunung api. Pusat Kerajaan Mataram Kuno
diperkirakan berpindah-pindah mulai dari Dieng, lalu ke Magelang, hingga
ke sekitar Prambanan, sebelum kemudian tiba-tiba menghilang dan
berpindah ke Jawa Timur. Banyak yang menduga perpindahan ini karena
dampak letusan gunung api, selain gempa bumi dan pergolakan politik.
Jejak
kehidupan dari masa lalu yang terkubur material gunung api ini biasanya
terlupakan sampai ditemukan secara kebetulan oleh masyarakat yang
sedang menggarap lahan, membangun rumah, atau menambang pasir.
Masyarakat yang menghuni kawasan Liyangan, misalnya, tak pernah mengira
di bawah timbunan pasir di pinggir desa mereka pernah ada perkampungan
padat pada masa lalu yang kemudian musnah karena letusan Gunung Sindoro.
Geolog dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran,
Yogyakarta, Helmy Murwanto, mengatakan, penemuan situs Liyangan
semestinya juga menjadi pengingat tentang jejak bencana akibat letusan
Gunung Sindoro pada masa lalu. Terakhir, Gunung Sindoro meletus pada
1910 sehingga masyarakat kemungkinan tak memiliki memori tentang letusan
dahsyat gunung ini. Padahal, gunung api aktif yang sudah lama terdiam
ini pernah memiliki jejak mematikan. Peradaban yang kini dibangun banyak
yang berdiri di atas tapak bencana pada masa lalu.